Jumat, 15 April 2011

SARANA BERFIKIR ILMIAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. SARANA BERPIKIR ILMIAH
Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Sedangkan manusia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan bandringan, laso atau dengan melempar batu, 1). Manusia sering disebut homo fiber : mahluk yang membuat alat, dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut pastilah memerlukan alat.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Tanpa menguasai sarana berpikir ilmih dengan baik, dimungkinkan kegiatan ilmiah tidak dapat dilakukan dengan baik pula.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang dapat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana tertentu pula.


1. Philip E. B. Jourdain, “ The Nature of Mathematics” , The World of Mathematics: vol.I, ed. By James R. Newman (New York: Simon & Schuster, 1956), hlm. 9.

Dengan jalan ini, maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya sebab sarana merupakan alat yang dapat membantu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
Dalam proses pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal, yaitu:
1. Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya berbeda dengan metode ilmiah.
2. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kehidupan kita sehari-hari.
Jelaslah kiranya mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, daan bukan merupakan ilmu itu sendiri. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya dengan baik.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Jika ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu meruapakan gabungan antara berpikir induktif dan deduktif. Untuk itu maka penalaran menyandarkan diri kepada proses logika induktif dan logika deduktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam proses berpikir induktif.
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini untuk menyelesaikan tugas kelompok matakuliah FILSAFAT ILMU di Pasca Sarjana UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

C. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ini dengan menggunakan studi pustaka








BAB II
PEMBAHASAN
A. BAHASA
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Dalam hal ini maka Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal Symbolicum, mahluk yang mempergunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas daripada Homo Sapiens yakni mahluk yang berpikir, sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol-simbol 2).
Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan, dan manusia tidak dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
Bahasa memungkinkan manusia barpikir abstrak dimana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara lebih lanjut dan dapat berpikir secara teratur dan sistematis. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan

2. Ernst Cassirer, An Essay on Man (New Heaven: Yale University Press,1944)


lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkai oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif.
Jika kita telaah lebih lanjut, bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah pikiran, perasaan dan sikap. Atau seperti yang dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. 3) Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif.
Dalam komunikasi ilmiah, proses komunikasi yang disampaikan harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu salah informasi, yakni suatu proses komunikasi yang menyebabkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana suatu informasi yang beda akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula. Oleh sebab itu maka komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan objektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik.

3.George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Wiley, 1964), hlm. 28.
Hal ini berlaku baik bagi kegiatan ilmiah maupun non ilmiah. “tata bahasa, “ menurut Charlton Laird, “merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan menggunakan aturan-aturan tertentu. 4) Penguasaan tata bahasa yang baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar.
Beberapa kekurangan bahasa
Sebagai alat komunikasi ilmiah bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut yakni:
1. Kekurangan ini pada hakekatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik.
2. Terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa.
3. Bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi.
4. Adanya makna konotasi yang bersifat emosional.





4.Charlton Laird, The Miracle of Language (New York: Fawcett,1953), hlm. 232.
B. Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang dalam matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus yang mati. Yang paling sukar untuk menjelaskan kepada seseorang yang baru belajar matematika, keluh Alfred North Whitehead, ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti. 1)
Untuk mengatasi kekurangan dalam bahasa, maka kita berpaling kepada matematika. Dapat dikatakan bahwa hal ini bertujuan untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dalam matematika bersifat artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji.
Sifat kuantitatif dari matematika
Telah dikatakan bahwa bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif, maka penjelasan dan ramalan yang diberikan bahasa verbal semua bersifat kualitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih cermat dan tepat.matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.
1. Alfred North Whitehead, The Aims of Education (New York: The Free Press)
Matematika Sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Secara deduktif dari matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Jadi secara garis besar matematika merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif.
Disamping sebagai sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat.
Sebagaimana sarana berpikir ilmiah, maka matematika itu tidak mengandung kebenaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunie empiris. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran lewat berbagai disiplin keilmuan. Krteria dalam kebenaran matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan mainnya.
C. Statistika
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, dimana konsekuensinya dapat diuji dengan baik dengan jalan mempergunakan panca indera, mapun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu panca indera tersebut.1) Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Jika kita telaah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui rata-rata berat bayi yang baru lahir di sebuah tempat tertentu maka berat rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dari kasus- kasus bayi yang baru lahir di tempat tersebut. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Penarikan kesimpulan induktif berbeda dengan penarikan kesimpulan deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya juga sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya juga sah, namun kesimpulan yang di peroleh belum tentu benar. Yang dapat kita katakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.1)
Statistika memberikan solusi atas permaslahan yang di hadapi ketika kita akan meneliti sebuah data. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan

1. Rudolf Carnap, An Introduction to the Philosophy of Science (New York: Basic, 1996), hlm. 20.

yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Jadi ketika kita ingin mengetahui berat rata-rata bayi pertama lahir se Indonesia, kita cukup mengambil sebagian data yang mempunyai karakteristik yang dapat mewakilinya.
Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populasi.
2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Maksudnya sebelum digunakan instrumen sebaiknya diuji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.
3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Dalam hal ini statistik digunakan adalah kolerasi, t-tes regresi, dan lain-lain.
Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.






BAB III
KESIMPULAN
Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang dapat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Jika ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu meruapakan gabungan antara berpikir induktif dan deduktif. Untuk itu maka penalaran menyandarkan diri kepada proses logika induktif dan logika deduktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam proses berpikir induktif.







DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri filsafat Ilmu (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2009)

Alfred North Whitehead, The Aims of Education (New York: The Free Press)

Rudolf Carnap, An Introduction to the Philosophy of Science
(New York: Basic, 1996), hlm. 20.

Charlton Laird, The Miracle of Language (New York: Fawcett,1953), hlm. 232

George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Wiley, 1964), hlm. 28.

Ernst Cassirer, An Essay on Man (New Heaven: Yale University Press,1944)

Philip E. B. Jourdain, “ The Nature of Mathematics” , The World of Mathematics: vol.I, ed. By James R. Newman (New York: Simon & Schuster, 1956), hlm. 9.